• November 24, 2024

Saya tidak dapat mengejar ketinggalan, saya mulai merasa gugup

YOGYAKARTA, Indonesia – Melalui pengeras suara, nada penyiar radio meninggi saat tim Panzer menembus pertahanan tim Korea Selatan. Para pemain asuhan Joachim Low itu digambarkan menyodok ke arah depan gawang.

Puluhan pendengar di Aula Mardi Wuto Yogyakarta, Rabu 27 Juni 2018 malam, terdiam. Ekspresi mereka terlihat tegang saat menyaksikan jalannya permainan. Lalu, “Tim Korea juga tak kalah bagus, kipernya sigap memetik bola di udara,” suara pria di radio itu melanjutkan laporannya.

Jerman tidak mampu menjebol gawang Korea. Hingga turun minum babak kedua, skor tetap imbang, 0-0. Pendengar siaran berteriak kecewa.

Salah satu pendengarnya, Tio Tegar (21 tahun) mengatakan meski tidak mengidolakan tim Jerman, namun ia yakin tim Panser mampu mengalahkan Korea. Ada banyak pesepakbola terampil di sana. “Saya hanya pengamat padahal tidak bisa mengamati,” kata mahasiswa hukum semester lima Universitas Gadjah Mada itu.

Tio buta. Dia mulai kehilangan penglihatannya ketika dia masih di sekolah dasar. Kini matanya hanya bisa melihat cahaya. Namun hilangnya kemampuan melihat benda tak membuat pria asal Magelang itu kehilangan kecintaannya pada sepak bola. “Ayah dan kakak laki-laki saya suka menonton sepak bola, jadi saya juga menyukainya,” kata bungsu dari tiga bersaudara ini.

Berbeda dengan orang tua dan saudara kandungnya, dia mengandalkan laporan audio untuk mengikuti pertandingan. Radio adalah pilihan yang paling penting. Jika tidak ada, suara komentator pertandingan di siaran televisi akan menjadi penggantinya.

Dengarkan bersama

Sepanjang Piala Dunia 2018, ia hampir tidak pernah melewatkan satu pertandingan pun. “Di dalam badai (warung) juga bisa,” ujarnya.

Namun malam itu dia memilih mendengarkan permainan bersama (Debar) Mardi Wuto. Dengan menaiki ojek on lineberangkat dari tugasnya di Klebengan.

MArdi Wuto merupakan balai sosial yang dibawah naungan Dr. Yayasan RS Mata YAP Prawirohusodo di Jalan Cik Di Tiro. Lembaga ini bekerja sama dengan Radio Republik Indonesia menggelar pertandingan sepak bola antara Jerman dan Korea.

Muhammad Akbar Satriawan (27 tahun), penyandang disabilitas netra lainnya, mengatakan, para peserta debar rata-rata sudah saling mengenal. Meski tidak terlalu terkenal, mereka pernah bertemu sebelumnya di kegiatan yang diadakan Mardi Wuto, seperti latihan musik dan kursus bahasa Inggris.

Berbeda dengan Tio yang hanya bisa menangkap cahaya pada penglihatannya, mata Akbar masih mampu menangkap objek. Namun, pandangan tersebut terbatas pada jarak yang sangat terbatas. Ia mengalami penurunan penglihatan sejak masih bayi. “SAYA penglihatan yang buruk,” kata lulusan jurusan komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga itu.

Akbar kini berjualan jajanan setiap hari. Untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, pria asal Kotagede ini mengandalkan angkutan umum dan ojek. “Dulu saya naik ojek ke sini on line,” dia berkata.

Seperti kebanyakan peserta kompetisi malam itu, Akbar memperkirakan tim Jerman akan lebih baik dari Korea. Sayangnya, pemain Korea, Kim Young-Gwon dan Son Heung-Min, melakukan tendangan di menit-menit akhir pertandingan dan berhasil membobol gawang Jerman. Skor berubah, 2-0. Tim Negeri Ginseng luar biasa.

Harus ada ide-ide inovatif

Relawan Mardi Wuto, Veronica Christamia Juniarmi (28 tahun), mengatakan, hiburan yang bisa didapatkan oleh penyandang disabilitas netra tidak banyak. Oleh karena itu, harus ada ide-ide kreatif dan inovatif untuk merancang kegiatan bagi mereka. Benjolan ini adalah yang pertama terjadi di sini, katanya.

Mahasiswa S2 Universitas Sanata Dharma Yogyakarta ini mengenal penyandang tunanetra di Mardi Wuto beberapa tahun lalu. Bermula saat ia bersama beberapa rekannya mengajari mereka bahasa Inggris, kini ia mendirikan Komunitas Brailiant Yogyakarta.

Pengurus komunitas mencapai 20 orang. Tiga di antaranya buta. Jumlah bantuan masyarakat dilaporkan mencapai 200 orang.

Komunitas ini mengadakan sejumlah kegiatan bagi penyandang disabilitas tunanetra. Diantaranya adalah Layar Bisikan. Sebulan sekali, relawan dan penyandang tunanetra datang ke bioskop. Selama pemutaran film, para relawan membisikkan jalan cerita kepada para tunanetra.

Kegiatan lainnya, kata dia, adalah Mass Audio Book. Ini merupakan kegiatan peningkatan literasi bagi penyandang disabilitas tuna netra. Relawan membaca buku atau novel, sedangkan tunanetra mendengarkan bersama.

Perkembangan teknologi saat ini telepon pintar memang menawarkan kesempatan untuk mengakses buku digital. Beberapa aplikasi bahkan dilengkapi dengan program suara. “Tetapi tidak semua buku memiliki (aplikasi audio), makanya kami membuat Buku Audio Massal,” ujarnya.

Kepala Program Penyiaran RRI Yogyakarta Yuliana Martadoky mengatakan RRI merupakan satu-satunya radio di Indonesia yang memiliki izin menyiarkan pertandingan sepak bola Piala Dunia. Kemeriahan tersebut terjadi dengan mendengarkan bersama siaran langsung dari stasiun penyiaran di Jakarta.

Ide digelarnya pertandingan Jerman vs Korea malam itu, kata dia, dilatarbelakangi peran RRI sebagai lembaga penyiaran publik. Jadi, stasiun radio milik negara ini harus bisa melayani semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas netra.

—Rappler.com

Sidney siang ini