Ayah dan anak, naik turunnya sepak bola
- keren989
- 0
Jakarta, Indonesia –Pada Piala Dunia 1998, Kasper Schmeichel masih berusia 12 tahun. Di televisi, ia menyaksikan ayahnya, Peter Schmeichel, bermain di bawah mistar gawang untuk tim nasional Denmark.
Peter Schmeichel adalah seorang legenda sekaligus idola masyarakat Denmark. Namanya harum. Ia memperkuat timnas pada 1987 hingga 2001. Penampilan terbaiknya, juara Piala Eropa 1992. Di final, Denmark mengalahkan Jerman 2-0 dalam duel seru di Stadion Ullevi, Gothenburg, Swiss, 26 Juni. Dua gol kemenangan masing-masing dicetak oleh John Jensen dan Kim Vilfort.
Peter Schmeichel yang kini semakin menua, berusia 54 tahun, juga menjadi salah satu legenda terhebat Manchester United. Bersama Setan Merah, klub yang dibelanya selama delapan tahun (1991-1999), pemilik nama lengkap Peter Bolesław Schmeichel itu meraih banyak trofi. Diantaranya, ia lima kali menjuarai Liga Inggris dan satu kali menjuarai kompetisi antarklub paling bergengsi di Eropa: Liga Champions.
Peter Schmeichel benar-benar pemain terbaik. Tidak banyak kiper seperti dia. Sulit. Kokoh. Itu sebabnya, pria kelahiran 18 November 1963 ini mendapat julukan sengit: The Great Dane.
Tak lagi berkeliaran di lapangan hijau, bukan berarti Peter Schmeichel menghilang begitu saja. Setidaknya namanya masih dikenang oleh putranya yang kini juga mengikuti jejak ayahnya, Kasper Schmeichel.
Di usianya yang sudah menginjak 31 tahun, Kasper Schmeichel kini bermain untuk Denmark di Piala Dunia 2018. Dibandingkan sang ayah, prestasi Kasper tidak ada apa-apanya, baik di klub apalagi timnas. Nikmatnya naik podium baru dirasakan Kasper saat membawa Leicester City menjadi yang terbaik di Premier League edisi 2015-2016. Kasper saat ini terus memperkuat tim yang bermarkas di King Power Stadium.
Pada Piala Dunia 2018, Denmark tergabung di Grup C bersama Prancis, Australia, dan Peru. Pada laga pertama, ‘Dynamite’ sukses mengalahkan Peru 1-0. Sayangnya, di laga kedua melawan Australia, Denmark hanya mampu bermain imbang 1-1. Lolosnya Denmark ke babak 16 besar akan ditentukan melalui duel melawan Prancis pada Selasa 26 Juni. Tentu saja Kasper diharapkan bisa tampil maksimal.
Kasper bukan satu-satunya yang memiliki ayah pesepakbola.
Masih ingat Paolo Maldini? Nama ini sudah tidak asing lagi di telinga Milanisti, fans fanatik AC Milan. Maldini juga menjadi kebanggaan Italia, meski mantan bek tangguh itu belum pernah menjuarai turnamen besar dengan seragam Gli Azzurri. Maldini hampir mengharumkan nama Italia sebanyak dua kali, yakni Piala Dunia 1994 dan Piala Eropa 2000. Jika gagal di final, Italia harus puas penerus.
Ayah Maldini, siapa lagi kalau bukan Cesare Maldini. Seperti putranya, Cesare Maldini juga merupakan legenda Milan dan pernah bermain untuk timnas. Setelah pensiun, selain melatih Milan, Cesare Maldini juga melatih Italia.
Pemain lain yang memiliki ayah terkenal adalah Ianis Hagi. Kini penyerang berusia 19 tahun itu tercatat sebagai pemain timnas U-21 Rumania. Dari nama belakangnya mudah ditebak bahwa dia adalah putra Georghe Hagi. Hagi terkenal pada tahun 1980an dan 1990an. Legenda Rumania itu bermain untuk sejumlah klub ternama seperti Real Madrid (1990-1992) dan kemudian Barcelona (1994-1996).
Prancis juga memiliki talenta muda, calon bintang masa depan. Dia adalah Enzo Zidane. Dia adalah putra Zinedine Zidane, tokoh kunci di balik kehebatan Prancis di Piala Dunia 1998, di mana Les Bleus muncul sebagai juara. Di Real Madrid, nama Zidane tertanam kuat di hati para penggemarnya. Tak hanya gemilang saat masih menjadi pemain (2001–2006), Zidane juga berhasil mempersembahkan trofi Liga Champions kepada El Real dalam kapasitas sebagai concoker pada musim 2017/2018.
Sekilas Justin Kluivert sangat mirip dengan ayahnya, Patrick Kluivert. Harapannya Justin bisa meneruskan kesuksesan sang ayah. Justin masih muda, 19 tahun. Mantan ujung tombak Ajax yang memilih hengkang ke AS Roma itu menganggap Kluivert adalah idolanya. Ia ingin seperti Kluivert, meski bisa melampaui prestasinya. Kluivert membawa Belanda ke final Piala Dunia 2014, sebelum akhirnya kalah dari Jerman. Kluivert juga sukses berseragam Ajax, Barcelona, dan PSV.
Kebangkitan gagal
Yang tragis adalah Johan Cruyff, Franz Beckenbauer, Diego Maradona dan Pele. Keempatnya mengubah wajah sepakbola dunia dengan permainan terbaiknya. Namun kesuksesan mereka tidak bisa dilanjutkan oleh anak-anaknya. Cruyff, seniman lapangan hijau asal Belanda, hanya bisa pasrah melihat kegagalan putranya, Jordi Cruyff.
Setelah bermain untuk sejumlah klub seperti Barcelona (1994-1996) dan Manchester United (1996-2000), keberuntungan belum berpihak pada Jordi. Perlahan tapi pasti dia terlupakan. Termasuk di negaranya, Belanda.
Begitu pula dengan Beckenbauer yang mengubur mimpinya tentang masa depan Stephan Beckenbauer di dunia sepak bola. Keduanya ibarat langit dan bumi. Meski jebolan akademi Bayern Munich, Stephan kalah bersaing di tim utama. Hingga akhirnya didepak dan kemudian melanjutkan kariernya di klub-klub kasta bawah.
Maradona pernah menaruh harapannya di pundak putranya, Diego Sinagra. Namun, pahlawan Argentina di Piala Dunia 1986 harus menerima kenyataan sebaliknya: Sinagra sama sekali tidak dilahirkan untuk sepak bola konvensional. Sinagra sebenarnya sukses di sepak bola pantai.
Lalu Pele. Istilah buah jatuh tidak jauh dari pohonnya tidak berlaku untuk legenda Brasil yang brilian ini. Putra sulungnya dari pernikahan pertamanya, Edson Cholbi do Nascimento, justru harus keluar dari jaringan karena kasus yang mencoreng nama besar ayahnya. Edson atau akrab disapa Edinho ditangkap polisi tahun lalu terkait kasus narkoba dan pencucian uang yang membuatnya dipenjara selama 33 tahun. Edinho tercatat pernah membela Santos, Sao Caetano, Santista dan mengakhiri karirnya di Ponte Preta.
Drama sepak bola ayah anak.
—Rappler.com