Nelayan di Kepulauan Natuna Indonesia menangkis ancaman domestik dan internasional
- keren989
- 0
Kabupaten Natuna, sebuah kepulauan dengan 272 pulau di Laut Cina Selatan, adalah properti yang populer – berada di pusat salah satu rute pelayaran dan penangkapan ikan tersibuk di dunia.
Meski letaknya lebih dekat dengan Malaysia dan Singapura, Kepulauan Natuna sebenarnya adalah bagian dari Indonesia dan telah menjadi salah satu titik rawan penangkapan ikan ilegal terbesar di negara tersebut.
Pada tahun 2016, sebanyak 280 kapal asing ditemukan menangkap ikan secara ilegal hanya di satu wilayah, di zona penangkapan ikan 711, tepat di utara Natuna, menurut studi citra Radar Sat oleh proyek Pengembangan Infrastruktur Ruang Angkasa dan Oseanografi.
Dengan penangkapan ikan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU) yang menghabiskan stok makanan laut di Laut Cina Selatan hingga 90% sejak tahun 1950an, para nelayan dari seluruh wilayah tersebut terpaksa semakin jauh ke lepas pantai untuk mencari tangkapan, dan semakin dekat dengan konflik satu sama lain.
Yang dirugikan adalah nelayan seperti Endang Firdaus (32), warga asli Natuna yang sudah melaut di kawasan itu sejak 2010. Nelayan IUU tidak hanya berdampak pada pendapatannya, mereka juga telah menghancurkan terumbu karang utama di tanah kelahirannya dengan metode pukat (trawl) udang.
Setelah berinvestasi pada kapalnya sendiri dengan harga Rp130 juta ($9.000), Endang kini menangkap ikan sekitar 160 mil di lepas pantai Natuna, dan ia mengatakan bahwa ia menemukan kapal-kapal IUU asing, seringkali dari Vietnam, yang menandai dimulainya perjalanan 50 mil tersebut.
Nelayan Natuna sangat memahami karakteristik kapal penangkap ikan lepas pantai. Selain sering bertemu, para nelayan juga sering melihat dirinya dibawa ke darat oleh pihak berwenang setelah ditangkap. Kapal-kapal ini umumnya berukuran lebih panjang, terbuat dari baja dan besi, serta menggunakan kayu yang bentuknya berbeda dengan perahu nelayan Indonesia.
Meski sering bertemu dengan mereka, nelayan seperti Endang tidak bisa berbuat banyak, kecuali mendokumentasikan pertemuan tersebut dan menyampaikan laporan kepada pihak berwenang Indonesia. Dan ketika mereka melihat perahu aneh di titik pemancingan tertentu, mereka berhenti menggunakan titik tersebut.
“Itu karena rasa takut. Kapal kami lebih kecil dibandingkan kapal mereka, dan memuat puluhan orang,” katanya seraya menambahkan bahwa kapal-kapal asing tersebut seringkali bepergian secara berkelompok.
Hendri, Ketua Aliansi Nelayan Natuna, mengatakan para nelayan melaporkan puluhan kapal ikan ilegal di Natuna setiap hari. “Seolah-olah mereka tidak takut lagi memancing di Natuna,” ujarnya.
“Saat malam tiba, mereka seperti parade dengan lampunya yang terang benderang,” ujarnya seraya menambahkan, kapal asing menyeret pukat-hela (trawl) udang di siang hari dan berkumpul di satu tempat pada malam hari. “Kami sering menemukannya 50 mil dari terluar Natuna.”
Menurut Hendri, aparat setempat baru cenderung berpatroli dan menangkap nelayan liar ketika foto para nelayan tersebut viral di media sosial.
Untuk mengatasi peningkatan penangkapan ikan IUU oleh kapal asing, pemerintah Indonesia menyusun rencana pada awal tahun 2020 untuk menjalankan kedaulatannya di wilayah tersebut. Dibutuhkan sekelompok nelayan dari Laut Jawa dan memindahkan mereka sejauh 1.000 kilometer ke Laut Natuna bagian utara.
Idenya, jika laut dipenuhi nelayan Indonesia, kapal-kapal ilegal tidak akan masuk ke wilayah tersebut.
Maka pada 4 Maret 2020, 30 kapal nelayan dilengkapi peringkat sampingan – sejenis jaring pukat Denmark – meninggalkan pelabuhan perikanan di kota Tegal, Jawa Tengah, dengan tujuan Kabupaten Natuna. Mereka bahkan dikawal oleh Badan Keselamatan Maritim Indonesia.
Perjalanan ini dimaksudkan untuk berlangsung selama dua bulan, dengan perahu-perahu yang menangkap ikan di daerah yang biasanya tidak biasa dilakukan oleh nelayan asli Natuna.
Hanya dalam waktu satu bulan, semua perahu kembali ke Tegal, menurut Riswanto, ketua Persatuan Nelayan Seluruh Indonesia. Kapal milik Riswanto ikut dalam perjalanan tersebut.
“Hasil tangkapan tidak pernah menutupi biaya operasional kami. Kami (merugi),” kenangnya. Terlebih lagi, ciri-ciri Laut Natuna yang terlalu aneh bagi para nelayan sehingga menyulitkan navigasi mereka.
Berdasarkan perhitungan Riswanto, sebuah kapal nelayan yang menuju Natuna memerlukan biaya minimal Rp500 juta ($34.700), terutama untuk menutupi biaya bahan bakar. Perjalanan ke Natuna saja memakan waktu seminggu.
Selain itu, arus laut yang kuat menyulitkan mereka untuk menebarkan jaring ikan, sementara prakiraan cuaca yang tidak akurat menambah tantangan mereka.
Ia juga meyakini ketersediaan ikan di wilayah tersebut bersifat musiman. Suatu hari ia teringat setelah seharian bekerja ia hanya mampu menangkap 15 kilogram ikan.
Sementara itu, para nelayan ilegal dapat mengeksploitasi kawasan Natuna karena seringkali mereka dilengkapi dengan teknologi yang lebih baik, kata Riswanto. Mereka cenderung memiliki perahu yang lebih kuat, melakukan transshipment, dan memiliki teknologi navigasi yang canggih.
Beberapa nelayan Indonesia lainnya yang mencoba peruntungan di Natuna datang dengan perahu kayu tradisional. Begitu pula dengan Junaidi Arifin dari Kalimantan Barat, salah satu pelabuhan terdekat ke Natuna dari kepulauan utama Indonesia.
“Jika (pemerintah) tidak bisa membantu kami dengan menyediakan peralatan, mereka harus mengubah peraturan untuk mendukung nelayan lokal,” kata Junaidi.
Riswanto mengatakan setiap kapal penangkap ikan di Tegal rata-rata kehilangan Rp 300 juta ($20.700) dan mereka masih harus membayar gaji awak kapal.
“Misinya bela negara, namun 25 nelayan tersebut tetap menjadi tulang punggung perekonomian keluarganya di rumah,” ujarnya.
Apalagi, para nelayan asal Kabupaten Natuna sendiri kurang senang dengan kedatangan kapal Indonesia lainnya tersebut.
Aliansi Nelayan Natuna sangat prihatin dengan perahu yang digunakan peringkat sampingansebuah metode penangkapan ikan yang menggunakan jaring besar yang diseret di sepanjang dasar laut, yang sering kali merusak terumbu karang yang penting bagi ekosistem laut.
Nelayan Natuna seperti Endang biasanya dapat melihat terumbu karang yang ditandai oleh radar, namun kapal pukat menyukai mereka yang menggunakan radar peringkat sampingan seringkali meninggalkan dasar laut dalam keadaan rusak sehingga terumbu karang bisa hilang dalam sehari.
“Rusaknya terlalu besar, tidak ada lagi blip di radar kita, sehingga harus mencari yang lain,” kata Endang, khususnya mengenai wilayah yang menjadi tempat penangkapan ikan oleh kapal IUU asing.
Pada kenyataannya, peringkat sampingan memancing dulunya dilarang di Indonesia untuk alasan ini. Larangan yang dicetuskan Menteri Kelautan dan Perikanan saat itu, Susi Pudjiastuti, akhirnya dicabut oleh penggantinya, Edhy Prabowo.
Hendri mempercayainya peringkat sampingan Penangkapan ikan telah menyebabkan rusaknya biota laut di sekitar pesisir Natuna, dimana para nelayan sebelumnya hanya bisa mencari nafkah dengan menggunakan alat pancing konvensional di perahu kecil.
“(Nelayan) sekarang harus menempuh jarak minimal empat mil dari pantai. Pasirnya lebih banyak dibandingkan terumbu karang di laut,” ujarnya.
Endang menambahkan, pada masa jabatan Edhy, banyak kapal asing yang kembali. “Di zaman Pak Edi luar biasa, (kapal asing) datang konvoi!” dia berkata.
Endang mengaku belum paham penyebabnya, namun menurutnya Natuna langsung “diserang” kapal asing usai pergantian menteri. Namun keluhan nelayan Natuna tidak dihiraukan.
Faktanya, akan ada lebih banyak lagi kabar buruk bagi mereka. Pada bulan November 2020, peraturan baru telah disetujui (Peraturan Kelautan dan Perikanan No. 59/2020), yang memungkinkan peringkat sampingan perahu harus menangkap ikan sejauh 12 mil dari pantai, sedangkan nelayan Natuna dengan perahu yang lebih kecil harus menangkap ikan dari jarak nol hingga empat mil dari garis pantai.
Tindakan tersebut, kata Hendri, “akan menghancurkan nelayan kecil.”
Untungnya, peraturan baru ini berumur pendek. Pada bulan Desember 2020, Wahyu Trenggono menggantikan Edhy sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, dan pada bulan Mei 2021 ia merevisi peraturan tersebut untuk melarang sejumlah metode penangkapan ikan yang merusak lingkungan, termasuk kapal pukat Denmark, kapal pukat berpasangan, dan kapal pukat berpasangan. peringkat sampingan.
Namun, Hendri menilai aturan baru ini masih belum memberikan manfaat bagi nelayan Natuna. Ia menambahkan, hal tersebut tidak mendukung upaya perlindungan ekosistem laut, juga tidak menjamin keberlanjutan penghidupan nelayan tradisional.
“Telah muncul alat penangkapan ikan baru (untuk menggantikan metode trawl yang dilarang), yaitu jaring ikan kantong, yang memiliki metode operasional, konstruksi dan spesifikasi yang sama (dengan peringkat sampingan jaring),” ujarnya saat dihubungi terkait putusan pada Juni 2021.
“Oleh karena itu, nelayan Natuna kami akan terus melakukan perlawanan peringkat sampingan dan trawl atau alat tangkap pengganti lainnya (yang sifatnya serupa),” ujarnya.
Sedangkan perahu asal Tegal tidak pernah kembali ke Natuna, meski pemerintah Indonesia masih mencari cara untuk mengisi laut Natuna dengan para nelayannya. – Rappler.com
Kisah ini adalah bagian dari Oceans Inc. miliknya “Nelayan di Garis Depan,” yang mengkaji bagaimana nelayan di Laut Cina Selatan terkena dampak IUU fishing dan sengketa wilayah maritim yang sedang berlangsung.
Samudera Inc. adalah investigasi kolaboratif yang dilakukan oleh Environmental Reporting Collective, yang melibatkan 23 jurnalis dari lebih dari selusin negara yang menyelidiki penangkapan ikan IUU. Nantikan penyelidikan selengkapnya www.oceansinc.earth.