• October 18, 2024

(PERTIMBANGAN) Mempromosikan perdamaian, keadilan dan dialog di Marawi

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

Di daerah terpencil di Kota Marawi, di sebuah masjid sederhana, saya melihat saudara-saudari Muslim kita bertemu langsung dengan Tuhan

Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar nama Marawi?

Banyak hal yang dibicarakan tentang kota Marawi. Misalnya saja, kota ini dikenal sebagai kota yang berbahaya dimana militan yang terkait dengan ISIS melancarkan pengepungan berdarah selama berbulan-bulan di Marawi yang menghancurkan kota tersebut dan membuat banyak warga sipil mengungsi.

Peristiwa-peristiwa ini terbayang dalam benak kami ketika saya berangkat ke Marawi bersama teman-teman dari berbagai negara sebagai bagian dari Asia Pacific Theological Encounter Program (APTEP). Program ini dikembangkan oleh para Jesuit di Indonesia untuk membantu Serikat Yesus menjawab tantangan Gereja di bidang dialog antaragama, khususnya dengan umat Islam.

Dalam program immersion selama satu minggu ini, saya tinggal di rumah sebuah keluarga Muslim di kawasan perumahan dekat Universitas Negeri Mindanao. Selama tinggal bersama keluarga angkat, saya belajar tentang perjuangan umat Islam Meranaw yang banyak mendapat stigma dan persepsi negatif dari pihak luar. Dalam salah satu percakapan kami, Intesar Aba-Conding Ali, salah satu putri Lola Raihana, menceritakan bahwa ketika dia memperkenalkan dirinya sebagai seorang Meranaw, orang-orang curiga dan bertanya kepadanya apakah teroris masih ada di Marawi. Tidak dapat dipungkiri bahwa Marawi selama ini dikenal sebagai kota yang tidak aman. Namun selama bertahun-tahun kota ini terus dibangun kembali dan direhabilitasi.

Berdasarkan pengalaman saya tinggal di sana, Kota Marawi relatif aman untuk dikunjungi bahkan memiliki potensi wisata. Sejuknya udara dan cuaca Marawi mengingatkan saya pada sejuknya kota Baguio. Salah satu teman saya, warga Korea Selatan, mengatakan dia merasa lebih aman berjalan di jalan-jalan sibuk di Marawi dibandingkan di Manila. Rasa aman dan semangat untuk mendorong situasi damai ini juga sejalan dengan semangat Mindanao State University yang mendapat mandat menjadi National Peace University di Filipina.

Pengepungan Marawi yang terjadi pada tahun 2017 berdampak signifikan terhadap warganya. Saya berkesempatan mengunjungi Ground Zero yang merupakan tempat paling terkena dampak perang antara pasukan ISIS dan Tentara Filipina. Banyak bangunan rusak, katedral hancur, dan ribuan warga harus direlokasi ke pemukiman sementara. Lola Raihana, ibu pemimpin keluarga angkat kami, menceritakan betapa mengerikan dan pedihnya suasana saat itu.

TETAP. Katedral Katolik Kota Marawi yang rusak. Foto oleh James Romero Santos, SJ

Salah satu cerita yang menginspirasi saya dari Lola Raihana adalah ketika keluarga mereka memutuskan untuk membuka pintu bagi tentara Filipina sebagai tempat mereka beristirahat dan mendapatkan makanan. Atas nama rasa kemanusiaan yang mendalam, keluarga Lola Raihana melayani kebutuhan para prajurit dan tetangganya di tengah bahaya dan ancaman pasukan ISIS yang sewaktu-waktu akan menyerang mereka. Sesungguhnya sikap kepahlawanan tersebut tidak dapat muncul tanpa keimanan yang kuat dan kepercayaan yang mendalam terhadap perlindungan Tuhan dalam diri mereka.

Saya juga berkesempatan mengunjungi markas Front Pembebasan Islam Moro (MILF) di Marantao dan mendengarkan kisah seorang komandan dan anggotanya. Mereka menceritakan berapa banyak diskusi dan kesepakatan yang dibuat dengan pemerintah namun tidak dilaksanakan secara signifikan. Mereka juga berharap menjadi daerah otonom yang bebas dari pengaruh otoritas eksternal. Keluhan yang paling menyedihkan adalah kurangnya penyediaan kebutuhan dasar warga seperti pasokan air dan listrik. Ironisnya, mereka memiliki Danau Lanao yang menyuplai listrik ke seluruh Mindanao. Namun mereka tetap saja mengalami pemadaman listrik terus-menerus dan kekurangan air. Hal ini bisa saya buktikan karena saya berkali-kali mengalami pemadaman listrik saat menginap di rumah Lola Raihana.

Seminggu tinggal, bertemu dan berdialog dengan masyarakat Marawi membuka mata saya terhadap realitas umat Islam pada umumnya dan masyarakat Meranaw pada khususnya. Semangat perdamaian dan keinginan untuk membangun dialog serta menjaga suasana damai dan aman sangat terasa selama saya berada di sana. Marawi tentunya akan terus berbenah menjadi tempat yang lebih aman untuk dikunjungi. Sebagai orang asing di Filipina, saya menemukan kedamaian di tengah masyarakat Marawi, yang terus berjuang untuk dihormati, diterima, dan diperhatikan sebagai masyarakat dan warga negara negara ini.

Saya merasa bisa menemukan Tuhan justru dari kesederhanaan keluarga Lola Raihana yang secara terbuka menerima kami orang asing dan berbeda agama. Tidak ada prasangka buruk dan malah mereka memperlakukan kami seperti keluarga mereka sendiri. Ketika saya pergi ke masjid sederhana dekat rumah keluarga angkat kami dan melihat seorang anak laki-laki dengan tulus mengumandangkan adzan Isya (sholat isya), saya juga datang untuk menemukan Tuhan secara pribadi. Tampak bagi saya bahwa pada saat itulah anak muda tersebut mengalami perjumpaan pribadi dan mendalam dengan Tuhan melalui lantunan azan yang luar biasa merdu dan indah.

Perjumpaan ini menguatkan keyakinan saya akan keberadaan ruh yang Tuhan temukan dalam segala hal. Di daerah terpencil di Kota Marawi, di sebuah masjid sederhana, saya menyaksikan saudara-saudari Muslim kita bertemu langsung dengan Tuhan. Saya percaya Tuhan ada, berinteraksi dengan orang-orang yang memuji dan berdoa kepada-Nya. – Rappler.com

Septian Marhenanto adalah seorang skolastik Jesuit asal Indonesia. Dia sekarang belajar teologi di Loyola School of Theology – Universitas Ateneo de Manila dan magang di Rappler.

link alternatif sbobet