• October 18, 2024

(Sekolah Baru) Kesehatan Mental di Persimpangan Jalan

Ini adalah ringkasan yang dibuat oleh AI, yang mungkin memiliki kesalahan. Untuk konteksnya, selalu rujuk artikel selengkapnya.

‘Pencapaian masyarakat yang bebas merupakan hal mendasar bagi pencapaian pikiran yang bebas dan sehat’

Seringkali kita menganggap kesehatan mental sebagai masalah pribadi yang terisolasi—masalah yang didapat melalui ketidakseimbangan kimiawi, masalah hormonal, dan kecenderungan genetik. Namun jika dilihat secara lebih luas pada titik temu permasalahan-permasalahan sosial, hal ini tidak selalu terjadi.

Dalam perbincangan tentang kesehatan jiwa, faktor sosial terkadang diabaikan sehingga menyebabkan terabaikannya konteks sosial seseorang di antara sistem, nilai, dan manifestasi yang berlaku dalam status quo.

Penting untuk dicatat bahwa kesejahteraan mental bukan hanya masalah pribadi, tapi juga masalah sosial. Hal ini merupakan permasalahan sosial, bukan hanya karena konsekuensinya, namun juga dalam arti bahwa penyebab-penyebabnya disebabkan oleh beragamnya kondisi dan keadaan sosial.

Mari kita pikirkan situasi dan pertanyaan berikut:

Berapa banyak kelompok LGBTQ+ yang sebenarnya menderita depresi akibat diskriminasi, stigma dan prasangka yang mereka alami?

Berapa banyak masyarakat miskin yang sebenarnya menderita tekanan psikologis yang disebabkan oleh kemiskinan, krisis keuangan, dan hilangnya kesempatan?

Berapa banyak petani dan petani yang benar-benar menderita PTSD yang disebabkan oleh pembunuhan umum, pelecehan dan kebrutalan polisi yang mereka saksikan?

Berapa banyak perempuan yang menderita depersonalisasi akibat objektifikasi, misogini, dan seksisme yang mereka hadapi sehari-hari?

Berapa banyak pekerja yang benar-benar menderita stres berat akibat kelelahan kerja dan keterasingan kapitalis?

Berapa banyak orang yang benar-benar menderita kecemasan terhadap perubahan iklim yang disebabkan oleh meningkatnya bencana iklim, kurangnya tindakan terhadap krisis iklim, dan ketidakpastian mengenai masa depan?

Berapa banyak orang yang sebenarnya menderita masalah jiwa namun tidak terdiagnosis karena tidak dapat diaksesnya layanan kesehatan jiwa dan layanan kesehatan secara umum?

Penelitian telah menunjukkan bahwa masalah sosial seperti perumahan yang buruk, pengangguran, stigma, kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan semuanya berhubungan dengan penyakit mental. Permasalahan ini, pada gilirannya, dapat menjebak orang dalam siklus penyakit.

Dari banyak sudut pandang medis dan praktik medis, masalah kesehatan mental ditangani dengan pendekatan multidisiplin, selain terapi farmakologis. Hal ini menunjukkan bahwa masalah-masalah seperti ini berada di luar jangkauan pengobatan, dan mengurangi masalah kesehatan mental hanya sebagai fenomena biologis dan bukan sebagai interaksi kompleks dari berbagai komponen eksternal berarti menutup mata terhadap realitas kondisi material kita.

Di sinilah pentingnya kontekstualisasi. Pentingnya mengontekstualisasikan kesehatan mental dalam konteks politik, ekonomi, sosio-kultural, dan lingkungan dalam masyarakat luas. Selain dimensi klinis, penting juga untuk mengatasi kondisi sosial yang menyebabkan munculnya masalah kejiwaan.

Seperti yang dikatakan oleh filsuf Jiddu Krishnamurti, menyesuaikan diri dengan baik dalam masyarakat yang sakit parah bukanlah ukuran kesehatan. Sebenarnya, kesehatan mental bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri. Hal ini pada akhirnya harus mencakup semua faktor sosial, politik dan budaya yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang secara keseluruhan.

Obat resep bukan satu-satunya terapi untuk masalah kesehatan mental; begitu pula pengobatan sistemik terhadap penyakit-penyakit sosial yang berdampak pada isu-isu ini. Pencapaian masyarakat yang bebas merupakan hal mendasar bagi pencapaian pikiran yang bebas dan waras. Jadi, meskipun kita berusaha menyembuhkan pikiran, kita juga bisa berusaha memperbaiki masyarakat. – Rappler.com

AC Himaya Tupas adalah mahasiswa studi interdisipliner tahun pertama dan jurnalis kampus lama.

situs judi bola online